REPUBLIKA.CO.ID, GARUT — Ratusan hektare lahan pertanian di wilayah Kabupaten Garut, Jawa Barat, dilaporkan mengalami kekeringan, dengan kategori bervariasi. Bahkan ada lahan pertanian yang puso.
“Sesuai laporan dari lapangan, sudah ada 32 kecamatan yang melaporkan ada indikasi kekeringan,” kata Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Garut Beni Yoga, melalui siaran pers, Rabu (6/9/2023).
Beni menjelaskan, kekeringan lahan pertanian dibagi beberapa kategori, yaitu kekeringan ringan, sedang, berat, dan puso. Kekeringan ringan berarti ada 25 persen dari satuan luas lahan yang kekeringan.
Adapun kekeringan sedang artinya ada 50 persen dari kondisi lahan pertanian yang kekeringan. Sementara kekeringan berat berarti terdapat 75 persen dari lahan petani yang kekeringan. “Kalau puso, sudah tidak bisa ditolong lagi, sehingga tidak bisa produksi sama sekali,” kata Beni.
Berdasarkan laporan yang masuk, Beni mengatakan, lahan pertanian yang kekeringan ringan mencapai 163 hektare, kekeringan sedang 70 hektare, dan yang mengalami kekeringan berat 36 hektare.
Sementara 22 hektare lahan pertanian dilaporkan mengalami puso. Lahan pertanian yang gagal panen ini dilaporkan tersebar di dua kecamatan. Sekitar tujuh hektare lahan berada di wilayah Kecamatan Pasirwangi dan 15 hektare di Kecamatan Selaawi. “Mudah-mudahan ini tidak terus berkembang,” kata Beni.
Namun, Beni menyebut lahan pertanian yang berpotensi mengalami kekeringan diperkirakan sekitar 791 hektare. Bila tidak dilakukan penanganan, kata dia, ada potensi puso. Jika sampai puso, disebut ada sekitar 15 ribu ton potensi panen yang hilang. “Ini yang harus diselamatkan, sehingga persedian pangan bisa tetap terjaga,” kata Beni.
Penanganan
Beni menjelaskan, pihaknya membagi zonasi pemetaan risiko bencana kekeringan, yaitu zona merah, kuning, dan hijau. Di zona merah, artinya tak ada sumber air yang bisa dieskplorasi untuk menyelamatkan lahan pertanian. “Risikonya harus ada jadup (jatah hidup) sembako untuk para petani, khususnya buruh tani, di zona merah,” kata dia.
Sementara di zona kuning, sumber air di wilayah itu relatif ada, tapi sulit untuk diakses karena jauh dari lahan pertanian. Di zona tersebut, kata Beni, dilakukan upaya pompanisasi atau pipanisasi agar air dari sumbernya bisa disalurkan ke lahan pertanian.
Adapun di zona hijau, menurut Beni, di wilayah tersebut terdapat irigasi teknis, sehingga kebutuhan air masih terpenuhi, meski debitnya mulai berkurang karena dampak musim kemarau.
“Nah, yang paling harus kita lakukan di zonasi hijau ini adalah penanganan atau pengendalian hama penyakit. Karena ini hama yang tadinya ada di zonasi merah sebarannya, dengan di zonasi kuning, ini akan bermigrasi ke daerah yang hijau,” kata Beni.