REPUBLIKA.CO.ID, SUKABUMI — Pergerakan tanah yang terjadi di Kampung Tegalkaso, Desa Bencoy, Kecamatan Cireunghas, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, mengakibatkan lima rumah rusak dan puluhan lainnya dinilai terancam. Berdasarkan informasi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), wilayah tersebut masuk dalam Zona Kerentanan Gerakan Tanah (ZKGT).
“Kampung Tegalkaso masuk daerah berada pada peta ZKGT,” ujar Kepala Tim Kerja Gerakan Tanah PVMBG Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Oktory Prambada, kepada wartawan, Senin (4/12/2023).
Berdasarkan data PVMBG, Oktory mengatakan, wilayah Kecamatan Cireunghas masuk kategori potensi gerakan tanah menengah hingga tinggi. Dalam Peta ZKGT, Desa Bencoy disebut berada pada zona gerakan tanah menengah. Pada zona tersebut, kata dia, ada kerentanan terjadi gerakan tanah, terutama pada daerah yang berbatasan dengan lembah sungai, gawir, tebing jalan, atau jika lereng mengalami gangguan.
Menurut Oktory, gerakan tanah di daerah tersebut dimungkinkan terjadi akibat adanya jalur air atau gorong-gorong yang tertimbun oleh permukiman padat. Faktor lainnya, kata dia, muka air tanah yang dangkal dan munculnya mata air. Namun, beberapa mata air ditutup, serta pembuangan jalur air atau limpasan dari air yang berlebih tidak jelas di bawah rumah dan bahkan ada yang tertimbun.
Dari faktor geologi, Oktory mengatakan, kondisi batuan dasar desa tersebut berupa batu lempung dan rapuh. Karenanya, kata dia, di daerah itu mudah terjadi pergerakan tanah tipe lambat. Menurut dia, gerakan tanah tipe lambat ini tidak membutuhkan lereng yang terjal. Dengan kemiringan hanya berkisar sepuluh derajat pun dapat terjadi gerakan tanah.
Secara morfologi, Oktory menjelaskan, desa tersebut merupakan lembahan dan tempat akumulasi air. Namun, pola drainase kurang tertata dengan baik. Menurut dia, gerakan tanah dapat dipicu curah hujan tinggi atau hujan deras lebih dari lima jam.
Oktory mengatakan, pada daerah terdampak gerakan tanah di wilayah Desa Bencoy, bagian atasnya permukiman dan pada tekuk lereng banyak dijumpai mata air. Sejumlah mata air, kata dia, sudah tidak ada dan saluran air tertutup atau ditimbun untuk permukiman.
Sementara saat curah hujan tinggi air meresap melalui pori tanah dan retakan. Akibatnya, tanah permukaan menjadi jenuh dan meningkatnya tekanan air pori. Tanah pun menjadi jenuh dan bobot massa tanah meningkat.
Kondisi tersebut, menurut Oktory, menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan air pori dan berkurangnya daya ikat tanah. “Akibatnya terjadi pergerakan tanah yang bertipe rayapan atau lambat, yang merusak jalan dan permukiman atau rumah warga,” kata dia.
Relokasi
PVMBG mengimbau seluruh warga di sekitar lokasi pergerakan tanah untuk tetap waspada. Pasalnya, kata Oktory, gerakan tanah bisa kembali terjadi jika curah hujan tinggi dan sistem drainase tidak tertata dengan baik.
Menurut Oktory, tipe gerakan tanah rayapan dan retakan berpotensi kembali terjadi di sekitar lokasi retakan lama. Karenanya, rumah terdampak yang kondisinya rusak sedang dan rusak berat disarankan direlokasi.
Mengantisipasi kejadian serupa, Oktory mengatakan, sebaiknya saluran air atau gorong-gorong yang tertimbun kembali difungsikan dan diarahkan alirannya. Kemudian, selain drainase permukaan, dibutuhkan juga drainase bawah permukaan untuk mengurangi tekanan air pori. Disarankan juga di lokasi gerakan tanah atau sepanjang retakan tanah tidak dilakukan pengembangan permukiman.