Senin 17 Nov 2025 13:35 WIB

Soal Polemik Kuota Internet Hangus, Ini Tanggapan Indonesian Audit Watch

Praktik kuota hangus yang berlangsung lebih dari 15 tahun, bukan hanya kelalaian

Kuota Internet (Ilustrasi)
Foto: Foxnews
Kuota Internet (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Hangusnya kuota internet hingga saat ini masih menjadi polemik. Sehingga, menjadi pembahasan di berbagai ruang diskusi publik. Karena, banyak pihak menilai bahwa praktik ini bukan lagi sekadar masalah layanan, tetapi telah bertransformasi menjadi ancaman serius bagi ekosistem ekonomi digital di Indonesia.

Salah satunya, Indonesian Audit Watch (IAW) yang menilai, praktik kuota hangus yang berlangsung lebih dari 15 tahun bukanlah kelalaian semata. Namun, sebagai bentuk kejahatan ekonomi digital yang bekerja secara sistematis sekaligus merampas hak digital pengguna.

Baca Juga

Menurut Sekretaris Pendiri IAW, Iskandar Sitorus, selama ini masyarakat diarahkan untuk menerima logika yang disusun industri telekomunikasi. Publik membeli data dalam bentuk kuota, namun dipaksa mengikuti aturan seolah-olah mereka sedang membeli masa aktif layanan.

"Namun industri telekomunikasi memutar logika, malah sebut kuota boleh hangus, karena masa aktifnya habis," ujar Iskandar dalam keterangan tertulis, Senin (17/11/2025).

Iskandar juga menyoroti, keadaan seperti ini dibiarkan negara selama lebih dari satu dekade. Oleh karena itu, ia mendesak pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk segera membongkar dan menghentikan model bisnis ini.

"Hari ini, seluruh fakta regulasi, ekonomi, governance, dan bukti dari provider sendiri semakin menunjukkan bahwa kuota hangus bukan sekadar isu teknis. Ini adalah kejahatan ekonomi digital terbesar dalam sejarah Indonesia!" katanya.

Iskandar juga menepis adanya pernyataan kalau kuota tidak bisa bersifat permanen karena berkaitan dengan spektrum. Ia menilai alasan itu tidak berdasar, sebab banyak layanan berbasis frekuensi lain yang tidak mengenal konsep hangus sama sekali, seperti token listrik, e-money, e-toll, hingga e-wallet.

"Jadi, jika semua layanan berbasis frekuensi lain saja tidak hangus, lalu mengapa kuota harus hangus? Ini bukan soal teknis. Ini soal model bisnis," katanya.

Ia kembali menegaskan bahwa masyarakat membeli barang digital berupa volume data. Berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata, barang yang telah dibayar menjadi hak pembeli. “Kuota adalah liter digital. Publik membeli liter air, bukan jam untuk minum air,” katanya.

Iskandar juga mengkritik tafsir soal Permenkominfo 5/2021. Baginya, aturan tersebut tidak bisa dijadikan dasar untuk menghapus kuota pelanggan. "Tapi aturan itu tidak pernah menyebut kuota dapat dihanguskan. Regulasi tidak boleh ditafsirkan untuk merampas hak rakyat," katanya.

IAW sendiri telah mendorong advokasi terkait isu ini sejak 2022 melalui berbagai diskusi, dokumentasi, hingga pelaporan dugaan Fraud by Omission ke Bareskrim. Estimasi awal kerugian. mencapai Rp63 triliun.

IAW menyebut total kerugian publik selama 15 tahun dapat mencapai Rp613 triliun. Ia mengistilahkan kerugian tersebut sebagai kerugian 'tanpa jejak'. Karena, hilangnya hak digital masyarakat tanpa catatan resmi. Situasi ini dianggap merugikan konsumen sekaligus negara karena pajak tetap dipungut meski layanan tidak diberikan sepenuhnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement