REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kebijakan Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang menetapkan 50 siswa per kelas di sekolah negeri, melahirkan banyak pro dan kontra. Tidak sedikit murid dan guru serta orang tua yang berkeluh kesah dengan kebijakan tersebut karena berbagai alasan.
Kebijakan yang disebut PP Muhammadiyah sebagai ugal-ugalan tersebut ditetapkan berdasarkan Keputusan Gubernur No. 463.1/Kep.323-Disdik/2025 Tentang Petunjuk Teknis Pencegahan Anak Putus Sekolah ke Jenjang Pendidikan Menengah Provinsi Jawa Barat pada 26 Juli 2025 lalu, banyak SMA Negeri di Jawa Barat yang menambah kuota penerimaan siswa baru dengan maksimal rombongan belajar 50 murid per kelas. Kebijakan ini dinilai berpengaruh terhadap kualitas belajar mengajar murid.
Muhammad Adyaraka Putra Pratama (15 tahun), siswa Kelas 10 SMAN 9 Bogor menyebutkan jumlah ini kurang efektif. Dia merasa, ada 50 siswa dalam satu kelas sulit dapat diajar dengan efisien, terlebih hanya satu guru yang mengajar dan mengatur kelas.
“Menurut saya pribadi itu kurang efektif, karena bagi saya sendiri 50 siswa dalam satu kelas itu belum tentu dapat diajarkan secara efisien apalagi yang mengajar hanya satu guru, lalu belum tentu anak-anaknya bisa mengikuti pembelajaran tersebut apalagi diaturnya,” jelas Adya saat ditemui Republika di SMAN 9 Bogor, Rabu (16/7/2025).
Adya menyarankan, dengan kondisi yang demikian, salah satu cara untuk menambah konsentrasi siswa dalam belajar yaitu guru dapat memberikan materi melalui visualisasi yang kuat. “Tidak bisa dipungkiri mungkin ada beberapa siswa yang keheranan atau kebingungan karena suaranya yang tidak terdengar, jika ingin fokus dalam 50 siswa itu mau tidak mau harus bisa mengandalkan visualisasi yang kuat,” ujar Adya.
Syifa Nur Latifah (14) Siswa Kelas 10 SMAN 9 Bogor mengatakan kebijakan ini sebenarnya tidak bermasalah jika para siswa mengikuti aturan dengan baik. “Saya sebenarnya tidak apa-apa, kalau semuanya mengikuti aturan dengan baik dan pembelajaran tidak terganggu oleh keberisikan dari suatu murid atau apa pun itu tidak apa-apa,” ucap Syifa.
Menurut Syifa, dengan jumlah siswa 50 murid per kelas dia merasa murid akan berdesakan selama pelajaran. “Belum ada gambaran, tapi kayaknya bakalan desek-desek rame banget,” kata Syifa.
Bagi Syifa, jumlah 48 hingga 50 siswa perkelas dirasa kurang efektif, sehingga harus dibantu juga dengan kedisiplinan siswa dan aturan-aturan yang ada. “Menurut saya kurang efektif, jadi harus dibantu dengan kedisiplinan dengan aturan-aturan yang ada. Jadi jika murid melanggar suatu aturan kita bisa memberikan sedikit… atau dari gurunya hukuman sendiri,” saran Syifa.