Selasa 19 Aug 2025 22:14 WIB

Hadirkan Budaya Sunda di HUT Jabar, Dedi Mulyadi Sesalkan Sejarah Sunda tak Jadi Spirit Pembangunan

Pada HUT ke-80 pembacaan sejarah Sang Hyang Siksa Kandang dari beberapa kerajaan

Ribuan peserta mengikuti kirab budaya atau karnaval Jabar Hudang dalam rangka perayaan HUT Provinsi Jawa Barat (Jabar) ke-80, di Kota Bandung, Selasa (19/8). Karnaval yang diikuti seluruh kota dan kabupaten di Jabar ini mengangkat spirit kebangkitan hasil pertanian, industri dan UMKM lokal.
Foto: Edi Yusuf
Ribuan peserta mengikuti kirab budaya atau karnaval Jabar Hudang dalam rangka perayaan HUT Provinsi Jawa Barat (Jabar) ke-80, di Kota Bandung, Selasa (19/8). Karnaval yang diikuti seluruh kota dan kabupaten di Jabar ini mengangkat spirit kebangkitan hasil pertanian, industri dan UMKM lokal.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Merayakan HUT Jabar ke-80, Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi menghadirkan unsur kebudayaan Sunda lewat kirab. Serta, menggali sejarah kerajaan-kerajaan Sunda di Paripurna Istimewa DPRD Jabar di Gedung Merdeka, Bandung, Selasa (19/8/2025).

Berbeda dengan HUT Jabar sebelumnya yang hanya membacakan sejarah pembentukan Jabar dari zaman perang, pada HUT ke-80 pembacaan sejarah Sang Hyang Siksa Kandang dari beberapa kerajaan disampaikan oleh seniman Rieke Diah Pitaloka, Iman Soleh, perwakilan sejarawan Cirebon, hingga Bogor.

Baca Juga

Paripurna pun diisi oleh tari-tarian dan sajian musik dan tembang sunda tradisional. Perayaan pun menghadirkan kirab budaya ‘Jabar Hudang’ yang menghadirkan arak-arakan budaya dan hasil tani dari 27 kabupaten/kota di Jabar. Dedi Mulyadi juga mengundang kepala desa hingga camat.

Menurut Dedi Mulyadi, pihaknya menceritakan akar kebudayaan dalam upaya pembangunan Jabar, karena tidak ada bangsa di dunia yang mencapai kemajuan pembangunan peradaban bangsanya kecuali tetap terikat pada konstitusinya.

“Konstitusi negara maju adalah konstitusi yang mempertahankan nilai tradisi yang terjadi pada masanya. Inggris bangunannya tetap masa lalu, Amerika bangunan tetap masa lalu. Indonesia punya bangunan masa lalunya ada dua, cerita sejarah kedua adalah peninggalan kolonial,” katanya.

Menurutnya, pembangunan tidak melulu rangkaian teknokratis yang dibangun oleh pikiran-pikiran akademik, juga bukan fakta yang ditulis dalam buku-buku peraturan daerah tentang anggaran belanja. “Pembangunan adalah keselerasan manusia dengan alamnya, dengan tanah,air, udara. Kita diberikan tanah yang indah, tanah Sunda,” katanya.

Dedi mengatakan, seluruh tatanan itu ada dalam catatan Sang Hyang Siksa Kandang, babad yang menceritakan terkait keteraturan tata ruang, dan bagaimana manusia menjaga alam, dan hubungan antar manusia. Namun catatan sejarah ini, seolah dilupakan dalam 80 tahun Provinsi Jabar.

“Seluruh nilai-nilai itu kita tinggalkan, seolah kita akan menggapai masa depan, seolah kita adalah kaum akademik yang tidak perlu catatan masa lalu. Seolah kita akan melangkah ke depan, yang dibangun dengan narasi-narasi politik. Kita lupa 80 tahun Jabar terbangun, seluruh rangkaian itu tidak menjadi fakta,” katanya.

Catatan sejarah, kata dia, tidak menjadi landasan pembangunan ini. Sehingga, membuat Jabar masih dirundung banyak persoalan, seperti kemiskinan yang masih tinggi, kerusakan jalan dimana-mana, ada anak terlantar di Sukabumi yang meninggal dunia karena tidak terurus.

“Betapa kita gagap, betapa kita lalai. Perangkat birokrasi yang tersusun hingga tingkat RT, ternyata tidak bisa membangun empati, kenapa? Manusia tidak terbangun dalam nalar dan rasa. Semua orang bicara anggaran dan keuangan, lupa dibalik anggaran ada rasa dan cinta yang bisa meniadakan yang ada, mengadakan yang tiada,” paparnya.

Karena itu, kata dia, pihaknya menghadirkan cerita Kerajaan Tarumanagara di Bogor yang kepemimpinannya sukses mengelola air, hingga bisa menguasai samudera. Cerita ini, bukan cerita mistis karena bekas peninggalan Tarumanagara hari ini tidak berbekas akibat tata ruang yang semrawut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement