REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU--Hujan yang masih kerap mengguyur di bulan Agustus ini, membuat para petani garam di Kabupaten Indramayu menjerit. Tak hanya kehilangan potensi keuntungan, modal yang telah mereka keluarkan juga hilang bersamaan dengan hujan yang mengguyur areal tambak mereka.
Semestinya, Agustus menjadi momen manis bagi petani garam karena panen garam sedang berlangsung. Namun nyatanya, kemarau basah membuat produksi garam di tambak menjadi terhambat.
Berdasarkan pantauan Republika di sentra tambak garam Desa Tanjakan, Kecamatan Krangkeng, Kabupaten Indramayu, Rabu (27/8/2025), areal tambak garam yang berbentuk petakan-petakan terlihat kosong. Butiran kristal garam yang hampir terbentuk sepekan kemarin, hilang tersapu air hujan yang terakhir kali turun pada Senin (25/8/2025).
Bahkan, areal tambak yang telah dipasangi plastik geomembran, terlihat seperti kolam ikan karena digenangi sisa air hujan yang bercampur dengan tanah. Pemilik tambak pun terlihat berusaha membuang air hujan itu ke saluran di depan tambaknya.
“Ya ini sedang pengurasan dan pengeringan lahan. Jadi bekas air hujannya dibuang dulu, terus dikeringkan, baru kemudian dialirkan air laut untuk pembentukan garam,” ujar Wisnu, saat ditemui Republika di areal tambaknya, Rabu (27/8/2025).
Cuaca yang cerah sejak kemarin dan hari ini, memunculkan harapan pada Wisnu akan keberlanjutan produksi garam. Ia berharap, sisa musim kemarau tahun ini bisa berpihak pada nasib petani garam. “Ya harapannya cuacanya bagus terus supaya bisa panen garam. Kalau nanti hujan lagi, ya sia-sia semuanya, harus ulangi lagi dari awal pengeringan,” katanya.
Wisnu menjelaskan, dalam kondisi normal, masa pengolahan lahan garam semestinya sudah dimulai pada Juni. Selanjutnya, memasuki Juli, panen garam sudah bisa dimulai. “Kalau sekarang kan boro-boro. Ini sudah akhir Agustus, tapi kondisinya masih ada hujan seperti ini,” katanya.
Wisnu menyebutkan, jika cuaca bagus, ia bisa memanen garam sebanyak lima sampai enam ton dalam sepekan. Namun sejak dimulai masa panen pada Juli sampai sekarang, ia baru sempat mencicipi panen garam sebanyak dua ton.
Kondisi itu membuat Wisnu merugi. Sejak dimulainya masa pengolahan lahan, ia telah mengeluarkan modal Rp 5 juta untuk pembelian plastik geomembran. Angka itu masih ditambah dengan upah tiga orang pekerja, sebesar Rp 150 ribu per orang per hari.
Hal senada diungkapkan petani garam lainnya, Dartim. Ia bahkan belum sempat sekalipun memanen garam di lahan tambak seluas satu hektare miliknya. “Modal sudah keluar Rp 10 juta, buat beli plastik (geomembran) dan upah pekerja. Ya rugi, sekarang sudah mau bulan sembilan (September), masih ada hujan terus,” kata Dartim.
Tak hanya di Kabupaten Indramayu, kondisi serupa dialami para petambak garam di Kabupaten Cirebon. Produksi garam di daerah itu juga terhambat karena hujan masih kerap terjadi. “Hujan masih turun, ditambah banjir rob, membuat tambak terendam. Padahal kami sudah mulai mengolah lahan untuk produksi garam sejak Mei 2025,” jelas seorang petani garam asal Desa Rawaurip, Kecamatan Pangenan, Kabupaten Cirebon, Ismail Marzuki.
Ismail menerangkan, sejak awal dimulainya pengolahan lahan, para petani sudah mengeluarkan modal untuk sewa lahan, pembelian material, hingga perbaikan tanggul tambak yang rusak diterjang rob. Namun, biaya yang dikeluarkan itu belum kembali karena proses produksi garam yang terus terhambat.
Kondisi itu, kata Ismail, membuat sebagian besar petambak garam akhirnya memilih menelantarkan lahannya. Pasalnya, modal yang berulangkali dikeluarkan belum bisa memberikan keuntungan. “Mereka tentu merugi,” kata Ismail.
Petambak garam lainnya, M Asral mengaku, sepanjang masa produksi tahun ini, baru sempat merasakan panen garam sebanyak 100 kilogram. Selebihnya, ia harus berulang kali melakukan pengolahan lahan karena hujan yang kembali turun di saat kristal garam belum sepenuhnya terbentuk.
“Kalau hujan deras kembali mengguyur, ya pembentukan garam jadi gagal. Harus ulangi lagi prosesnya dari awal. Makanya petambak yang meneruskan produksi garam sekarang jumlahnya sedikit,” katanya